Praktek
Monopoli di Indonesia dan Efeknya Terhadap Pengusaha Kecil
Diajukan
untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran
Produktip
Pemasaran
Disusun Oleh :
Ø Dodi krissandi
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penulisan
Dalam dunia usaha, persangan harus dianggap positif. Dalam
Teori Ilmu Ekonomi, persaingan yang sempurna adalah suatu kondisi pasar yang
ideal. Paling tidak ada empat asumsi yang melandasi agar terjadinya persaingan
yang sempurna pada suatu pasar tertentu. Asumsi tersebut adalah:
1. Pelaku usaha tidak dapat menentukan
secara sepihak harga produk atau jasa,
2. Barang dan jasa yang dihasilkan oleh
pelaku usaha mempunyai kebebasan untuk masuk ataupun keluar dari pasar
3. Pelaku usaha mempunyai kebebasan
untuk masuk atau keluar dari pasar “perfect mobility of resource”
4. Konsumen dan pelaku pasar memiliki
informasi yang sempurna tentang berbagai hal
Persaingan memberikan keuntungan kepada para pelaku usaha
maupun kepada konsumen. Dengan adanya persaingan maka pelaku usaha akan
berlomba-lomba untuk terus memperbaiki produk ataupun jasa yang dihasilkan
sehingga pelaku usaha terus menerus melakukan inovasi dan berupaya keras
memberi produk atau jasa yang terbaik bagi konsumen. Disisi lain dengan adanya
persaingan maka konsumen sangat diuntungkan karena mereka mempunyai pilihan
dalam membeli produk atau jasa tertentu dengan harga yang murah dan kualitas
baik.
Dibeberapa negara, hukum persaingan dikenal dengan istilah,
“Antitrust Laws” atau antimonopoli. Di Indonesia istilah yang sering
digunakan adalah hukum persaingan atau anti monopoli. Di Indonesia hukum anti
monopoli diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan prakek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Undang-undang ini merupakan
pengaturan secara khusus dan komprehensif yang berkaitan dengan persaingan
antar pelaku usaha.
Munculnya persaingan menjadikan setiap pelaku pasar dituntut
untuk terus menemukan metode produksi yang baru untuk memperbaiki kualitas dan
harga barang maupun jasa yang dihasilkannya, sehingga terciptalah efisiensi
ekonomi, yang berarti pelaku usaha dapat menjual barang dengan harga yang
wajar. Hukum persaingan diciptakan dalam rangka mendukung terbentuknya sistem
ekonomi pasar, agar persaingan antar pelaku usaha dapat tetap hidup dan
berlangsung secara sehat, sehingga konsumen dapat terlindungi dari ajang
ekploitasi bisnis.
Pada tanggal 5 Maret 1999 telah diundangkan Undang-undang
Republik Indonesia No.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat (Undang-undang Anti Monopoli). Pasal 3
Undang-undang tersebut menyatakan bahwa tujuan pembentukan Undang-undang ini
adalah untuk :
1.
Menjaga
kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu
upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat,
2.
Mewujudkan
iklim usaha yang kondusif melalui persaingan usaha yang sehat sehinggan
menjamin adanya kepastian kesempatan yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku
usaha menengah dan pelaku usaha kecil,
3.
Mencegah
praktek monopoli atau praktek usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku
usaha,
4.
Terciptanya
efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha
Sehubungan dengan lahirnya Undang-undang no.5 tahun 1999 maka
Indonesia harus menata kembali kerangka perekonomiannya, yang selama 32 tahun
terpola seperti yang diinginkan oleh Pemerintah Orde Baru, dimana perekonomian
Indonesia bergantung sepenuhnya pada kebijakan penguasa pada saat itu.
LANDASAN
TEORI
Monopoli
Monopoli
adalah suatu sistem dalam pasar dimana hanya ada satu atau segelintir
Perusahaan yang menjual produk / komoditas tertuntu yang tidak punya pengganti
yang mirip dan ada hambatan bagi perusahaan atau pengusaha lain untuk masuk
dalam bidang industri atu bisnis tersebut.
Penelitian ini dimulai dari pembahasan tentang hukum
persaingan dan monopoli, peran dunia usaha, industri kecil serta
ketentuan-ketentuan dalam UU No.5 th 1999 tentang larangan praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat. Pengertian “persaingan” berasal dari kata “saing”
kata saing mempunyai persamaan kata dengan “lomba” (atau mengatasi, dahulu
mendahului) sehingga kata “persaingan” mempunyai arti usaha memperlihatkan
keunggulan masing-masing yang dilakukan oleh perorangan (perusahaan Negara pada
bidang perdagangan produksi, persenjataan dan sebagainya).
Marshall C. Howard berpendapat bahwa persaingan merupakan
istilah umum yang dapat digunakan untuk segala sumber daya yang ada. Persaingan
adalah “jantungnya” ekonomi pasar bebas. Menurut teori, suatu sistem ekonomi
pasar bebas memiliki ciri : adanya persaingan, bebas dari segala hambatan,
tersedianya sumber daya yang optimal. Dengan
adanya persaingan, pelaku usaha dipaksa untuk menghasilkan produk-produk
berkualitas.
Dalam upaya merebut konsumen sebanyak-banyaknya pelaku usaha
yang menghasilkan barang selalu berusaha memperbaiki mutu barang sejenis agar
lebih laku dipasaran. Dalam menghadapi persaingan, pelaku usaha selalu berusaha
melakukan diversifikasi dan ekstensifikasi usaha, oleh karena itu tidak
mengherankan apabila pelaku usaha berhasrat menguasai berbagai sektor industri
strategis, mulai dari industri hulu hingga hilir, sehingga salah satu dampak
negatif dari persaingan adalah kepemilikan suatu usaha berada dalam satu tangan
(konglomerat) sehingga ia bisa mengendalikan pasar yang akhirnya akan mengarah
pada iklim persaingan yang tidak sehat.
Membahas mengenai hukum persaingan yang merupakan salah satu
bagian dari hukum ekonomi, tentu tidak akan lepas dari pembahasan dari mengenai
Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 yang berfungsi sebagai panduan normatif dalam
menyusun kebijakan-kebijakan ekonomi nasional. Pasal 33 Undang-undang Dasar
1945 tersirat bahwa tujuan pembangunan ekonomi yang hendak dicapai haruslah berdasarkan
kepada demokrasi yang bersifat kerakyatan yaitu adanya keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia, melindungi kepentingan rakyat melalui pendekatan
kesejahteraan dengan membiarkan mekanisme pasar berjalan dengan bebas,
memberikan petunjuk bahwa jalannya perekonomian nasional tidak diserahkan
begitu saja kepada pasar, tetapi memerlukan peraturan perundang-undangan untuk
mengatur jalannya perekonomian nasional.
Pengaturan perekonomian dengan perundang-undangan tujuannya
adalah untuk menciptakan struktur ekonomi nasional dalam rangka mewujudkan
demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Pengaturan tersebut untuk menghindari kemungkinan terjadinya hal-hal sebagai
berikut :
a.
Sistem Free Fight Liberalism yang
dapat menumbuhkan eksploitasi manusia dan bangsa lain, yang dalam sejarahnya di
Indonesia telah menimbulkan kelemahan struktur ekonomi nasional dalam posisi
Indonesia dalam percaturan ekonomi dunia.
b.
Sistem etatisme dalam arti bahwa
negara berserta aparatur ekonomi Negara bersifat dominan, mendesak dan
mematikan potensi serta daya kreasi unit-unit ekonomi diluar sektor negara.
monopolistik diperoleh dari kerjasama antara dua atau lebih
organisasi sejenis baik dalam bentuk pengaturan persaingan diantara mereka
sendiri maupun dalam bentuk peleburan c.
Persaingan tidak sehat serta
pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok dalam berbagai bentuk monopoli
dan monopsoni yang merugikan masyarakat dan bertentangan dengan cita-cita
keadilan sosial.
Praktek
monopoli akan terjadi bila :
- Monopoli diberikan kepada satu atau beberapa perusahaan tertentu saja, tanpa melalui Undang-undang.
- Monopoli atau kedudukan atau fusi.
PEMBAHASAN
a.
Praktek Monopoli di Indonesia
Monopoli adalah ciri khas bisnis
pada Era Orde Baru yang berdampak sangat merugikan bagi perkembangan bisnis dan
ekonomi di Indonesia. Kata monopoli berasal dari bahasa Yunani yang berarti
penjual tunggal. Di Amerika sering digunakan istilah “anti trust” untuk
pengertian yang sepadan dengan “anti monopoli” atau istilah dominasi yang
sering dipakai oleh masyarakat Eropa, yang artinya sepadan dengan istilah
monopoli. monopoli sebagai suatu keistimewaan yang berupa hak eksklusif dalam
menjalankan perdagangan atau dalam memproduksi barang khusus, serta dapat
mengontrol penjualan dan distribusi produk tertentu.
Ciri khas pemerintah Orde Baru adalah lebih mengutamakan
pertumbuhan ekonomi dari pada pembenahan masalah Negara yang lain, misalnya
perbaikan masalah hukum. Dalam perekonomian ada beberapa aktor pelaku pasar
yaitu pelaku usaha atau perusahaan dan asosiasi bisnis atau asosiasi pelaku
usaha yang juga memainkan peranan penting dalam berbagai industri.
Asosiasi bisnis atau trade association menjadi wadah bagi para pelaku usaha untuk berkomunikasi di
antara pelaku usaha dalam industri yang sama dan berpengaruh dalam
penentuan kebijakan anggota dan industri mereka. Eksistensi asosiasi
bisnis dibutuhkan dan intens digunakan sebagai wadah untuk pelatihan, komunikasi,
mencari peluang bisnis, kerjasama, medium komunikasi dengan pemerintah, sumber
informasi, mencari peluang pasar baru, menetapkan standar regulasi industri,
menetapkan aturan atau perjanjian dalam bisnis bahkan melihat strategi atau peluang apa yang terbuka dalam menembus pasar global.
Sering secara umum pelaku usaha dalam asosiasi melakukan
kesepakatan di antara mereka sendiri. Perjanjian diantara mereka tidak semuanya
berakibat negatif bagi persaingan dan mungkin saja menghasilkan keuntungan.
Perjanjian yang dilakukan dapat ditujukan untuk mengurangi risiko usaha,
menciptakan efisiensi dan mendorong inovasi, efisiensi biaya ketika melakukan
riset penelitian bersama sampai pada pengembangan jaringan distribusi.
Pelaku usaha dan pesaing dapat juga berjanji untuk membatasi
produksi sehingga akan menyebabkan harga naik, menetapkan harga yang sama, dan
merugikan kepentingan konsumen dan perekonomian. Tindakan bersama antara
beberapa pelaku usaha dan pesaingnya membentuk oligopoli informal baru yang menghasilkan
beberapa pemain yang mendominasi pasar dan selanjutnya menciptakan distorsi
pasar yang akan menciptakan juga monopolis baru.
Ada lagi beberapa kegiatan yang dilakukan oleh dan
difasilitasi oleh asosiasi pelaku usaha yang sifatnya anti persaingan. Sebagaimana
diatur dalam konteks UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, kegiatan lain itu misalnya Penetapan Harga (price
fixing). Sesuai dengan isi pasal 5 ayat (1) UU No.5 tahun 1999 penetapan harga
didefinisikan sebagai berikut : “bahwa pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu
barang dan / atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada
pasar bersangkutan yang sama”.
a. Prospek UU No. 5 Tahun 1999 Dalam
Mencegah Terjadinya Praktek Monopoli
Tujuan UU Antimonopoli Indonesia adalah menjaga kepentingan
umum, meningkatkan efisiensi ekonomi nasional, meningkatkan kesejahteraan
rakyat, menciptakan iklim usaha yang kondusif melalui persaingan sehat,
mewujudkan kegiatan usaha yang efektif dan efisien dengan melarang monopoli.
Ketentuan UU Antimonopoli baru dapat diterapkan kepada
pelaku usaha yang membuat perjanjian jika perjanjian tersebut mempunyai akibat
terhadap pasar yang bersangkutan, yaitu terjadi praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat. Perjanjian yang bersifat rule of reason adalah
ketentuan pasal 7, pasal 8, pasal 9, pasal 11, pasal 16, pasal 22, pasal 23,
dan pasal 24. Perjanjian horisontal yang ditetapkan di dalam UU Antimonopoli
adalah sebagai berikut :
Ø Penetapan Harga
Ketentuan pasal 5 ayat 1 adalah apa yang dikenal dengan
larangan price fixing secara horisontal. Ketentuan pasal 5 ayat 1 tersebut
adalah suatu larangan yang per se. artinya, para pelaku usaha otomatis ditindak
oleh KPPU, jika mereka membuat perjanjian penetapan harga, tanpa memperhatikan
apakah akan terjadi persaingan usaha tidak sehat atau tidak sebagai akibat
penetapan harga tersebut, karena yang mengalami akibat dari perjanjian tersebut
adalah konsumen/pembeli.
Dengan demikian harga yang di bayar oleh konsumen / pembeli
bukanlah harga yang ditentukan oleh persaingan antar pelaku usaha, dan melalui
proses antara permintaan dan penawaran, melainkan karena ditetapkan oleh para
pelaku usaha yang membuat perjanjian price fixing tersebut.
Penetapan harga suatu barang atau jasa tertentu ditetapkan
berdasarkan banyak faktor, dan dalam sistem ekonomi pasar penetapan harga juga
ditentukan oleh persaingan antar pelaku usaha pesaing. Menurut prinsip dasar
persaingan usaha, harga atas suatu barang atau jasa yang harus dibayar oleh
konsumen tidak boleh ditetapkan oleh siapapun, termasuk asosiasi-asosiasi
ekonomi seperti INACA.
Ø Diskriminasi Harga dan Diskon
Larangan penetapan diskriminasi (price discrimination)
disebutkan dalam pasal 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Pasal 6
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut menyatakan bahwa pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar
dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk
barang dan/atau jasa yang sama.
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 tersebut, diskriminasi harga
dilarang apabila pelaku usaha membuat suatu perjanjian dengan pelaku usaha lain
yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar harga yang tidak sama atau
berbeda dengan harga yang harus dibayar pembeli lain untuk barang dan/atau jasa
yang sama, karena hal ini dapat menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat
di kalangan pelaku usaha atau dapat merusak persaingan usaha.
Dalam hal ini terdapat tiga jenis dan tingkatan strategis
diskriminasi harga, di mana setiap tingkatan menuntut informasi yang berbeda
mengenai konsumen, yaitu:
*
Diskriminasi harga sempurna
Di
mana produsen akan menetapkan harga yang berbeda untuk setiap konsumen. Dengan
menerapkan strategi ini, produsen akan menyerap seluruh surplus konsumen,
sehingga dapat mencapai laba yang paling tinggi.
*
Diskriminasi tingkat harga kedua,
Pada
strategi ini produsen menerapkan harga yang berbeda untuk setiap pembelinya
berdasarkan jumlah barang yang dibeli. Pembeli yang bersedia membeli barang
lebih banyak diberikan harga per unit yang lebih murah.
*
Diskriminasi harga umumnya
ditetapkan produsen yang mengetahui bahwa permintaan atas produk mereka beragam
secara sistematik berdasarkan karakteristik konsumen dan kelompok demografis.
Ø Pembagian Wilayah Pasar
Pembagian wilayah pasar di antara pelaku usaha yang saling
bersaing merupakan salah satu bentuk perjanjian horisontal (kartel) yang
dilarang oleh UU Antimonopoli. Ketentuan pasal 9 menetapkan bahwa pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya dengan tujuan untuk
membagi wilayah pemasaran atau lokasi pasar terhadap barang dan / atau jasa
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan / atau persaingan
usaha tidak sehat.
Unsur yang harus dipenuhi dari ketentuan pasal 9 adalah
bahwa pelaku usaha harus saling bersaing pada pasar yang sama dan membuat suatu
perjanjian pembagian wilayah pemasaran. Akibat dari kesepakatan pembagian
wilayah pemasaran tersebut, wilayah pemasaran masing-masing pelaku usaha
menjadi terbatas.
Ø Pemboikotan
Pemboikotan salah satu hambatan persaingan diatur di dalam
ketentuan pasal 10 UU Antimonopoli. Syarat-syarat terpenuhinya suatu
pemboikotan adalah saat para pelaku usaha yang saling bersaing pada pasar yang
sama membuat suatu perjanjian diantara mereka. Perjanjian yang dibuat mempunyai
akibat bagi pelaku usaha yang lain, yaitu menghambat untuk masuk kepasar yang
bersangkutan (pasal 10 ayat 1). Hal yang lazim dilakukan dalam pemboikotan
adalah pemboikotan pemasaran atau pembelian suatu barang atau jasa tertentu
yang dilakukan oleh pelaku usaha yang saling bersaing sehingga merugikan pelaku
usaha yang lain (pasal 10 ayat 2).
Ø Penetapan Jumlah Produksi
Ketentuan pasal 11 mengatur larangan pengaturan jumlah
produksi dan / atau pemasaran suatu barang atau jasa tertentu yang bermaksud
untuk mempengaruhi harga yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan / atau
persaingan usaha tidak sehat. Ketentuan pasal 11 tersebut dapat dikenakan, jika
pelaku usaha yang saling bersaing membuat perjanjian yang menetapkan jumlah
produksi atau pemasaran barang tertentu. Perjanjian tersebut harus mempunyai
tujuan, yaitu untuk melakukan kegiatan koordinasi produksi dan pemasaran yang
mempengaruhi harga barang atau jasa tertentu yang mengganggu (menghambat)
persaingan pada pasar yang bersangkutan. Unsur-unsur ketentuan pasal 11 adalah:
*
Adanya perjanjian di antara pelaku
usaha
*
Mengatur jumlah produksi
*
Mengatur pemasaran suatu barang
dan/atau jasa
*
Bermaksud untuk mempengaruhi harga
*
Dapat mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
Ø Persekongkolan
Persekongkolan yang ditetapkan di dalam pasal 22 sampai
pasal 24 mengenai pengaturan tender, tukar menukar informasi, dan hambatan
masuk pasar menunjukkan bahwa UU Antimonopoli juga mengenal unsur yang disebut
saling menyesuaikan perilaku pasar pelaku usaha (kegiatan kolusif).
Persekongkolan merupakan perjanjian horisontal yang
dilakukan tanpa membuat suatu perjanjian tertulis. Sejauh mana pembuktian suatu
kegiatan persekongkolan, dapat dilihat dari kondisi pasar yang bersangkutan,
yaitu terhambatnya persaingan diantara pelaku usaha karena penyesuaian perilaku
pelaku usaha yang satu yang diikuti secara sengaja (sadar) oleh pelaku usaha
yang lain untuk mencapai tujuan yang sama.
Pasal 22 mengatur larangan persekongkolan antara pelaku
usaha dengan pihak lain untuk mengatur dan / atau menentukan pemenang tender
sehingga dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Persekongkolan yang
biasanya dilakukan dalam tender adalah untuk mempengaruhi harga yang akan
ditawarkan oleh peserta tender. Yang menjadi penghambat dalam penerapan pasal
22 tersebut adalah ketentuan pasal 1 angka 8, yang menetapkan bahwa
persekongkolan atau konspirasi bentuk kerja sama antara pelaku usaha yang satu
dengan yang lain untuk menguasai pasar yang bersangkutan bagi pelaku usaha yang
bersekongkol.
Ketentuan pasal 23 mengatur hambatan persaingan melalui
tukar menukar informasi antara pelaku usaha dengan pihak lain (pihak ketiga).
Diasumsikan pihak ketiga memberikan informasi pelaku usaha yang bersifat
rahasia secara strategis yang dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.
Persekongkolan yang ditetapkan pasal 24 sebenarnya adalah
suatu larangan tindakan pemboikotan seperti yang ditetapkan di dalam pasal 10.
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi
dan / atau pemasaran barang dan / atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan
tujuan barang atau jasa pesaingnya berkurang pada pasar yang bersangkutan, baik
dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.
Dalam aspek perilaku ini ditelusuri bentuk praktek yang
tidak lazim dilihat dan standar persaingan yang sehat dan jujur. Berbagai
tindakan dan upaya secara tidak sehat untuk menyingkirkan pelaku usaha lainnya
(misalnya trust, kartel, price fixing, diskriminasi harga, pembagian wilayah,
dll) biasa dimasukkan kedalam praktek monopoli dan persaingan tidak sehat.
Berikut Contoh Kasus Monopoli di Indonesia :
KASUS MONOPOLI PASAR
STUDI KASUS CARREFOUR INDONESIA
Seiring dengan perkembangan,
persaingan usaha , khususnya pada bidang ritel diantara pelaku usaha semakin
keras. Untuk mengantisipasinya, Pemerintah dan DPR menerbitkan Undang Undang
No. 5 Tahun 1999 tentang Praktek Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Dengan hadirnya undang-undang tersebut dan lembaga yang mengawasi pelaksanaannya,
yaitu KPPU, diharapkan para pelaku usaha dapat bersaing secara sehat sehingga
seluruh kegiatan ekonomi dapat berlangsung lebih efisien dan memberi manfaat
bagi konsumen.
Di dalam kenyataan yang
terjadi, penegakan hukum UU praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
ini masih lemah. Dan kelemahan tersebut ”dimanfaatkan” oleh pihak
CARREFOUR Indonesia untuk melakukan
ekspansi bisnis dengan mengakuisisi PT Alfa Retailindo Tbk. Dengan mengakuisisi
75 persen saham PT Alfa Retailindo Tbk dari Prime Horizon Pte Ltd dan PT
Sigmantara Alfindo. Berdasarkan laporan yang masuk ke KPPU, pangsa pasar
Carrefour untuk sektor ritel dinilai telah melebihi batas yang dianggap wajar, sehingga
berpotensi menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah
ini adalah untuk:
1.
Mengetahui
pelanggaran PT Carrefour terhadap Undang Undang No.5 Tahun 1999
2.
Mengetahui
alternative pemecahan masalah terhadap pelanggaran yang telah dilakukan oleh PT
Carrefour.
Pembahasan
Kasus PT
Carrefour Indonesia dan keputusan KPPU
Kasus PT Carrefour
sebagai Pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999. Salah satu aksi perusahaan yang
cukup sering dilakukan adalah pengambil alihan atau akuisisi. Dalam UU
No.40/2007 tentang Perseroan terbatas disebutkan bahwa hanya saham yang dapat
diambil alih. Jadi, asset dan yang lainnya tidak dapat di akuisisi.
Akuisisi biasanya menjadi salah satu jalan untuk meningkatkan efisiensi
dan kinerja perusahaan. Dalam bahasa inggrisnya dikenal dengan istilah acquisition
atau take over . pengertian acquisition atau take over adalah
pengambilalihan suatu kepentingan pengendalian perusahaan oleh suatu perusahaan
lain. Istilah Take over sendiri memiliki 2 ungkapan , 1. Friendly
take over (akuisisi biasa) 2. hostile take over
(akuisisi yang bersifat “mencaplok”) Pengambilalihan tersebut ditempuh dengan
cara membeli saham dari perusahaan tersebut.
Esensi dari akuisisi adalah praktek jual beli. Dimana perusahaan
pengakuisisi akan menerima hak atas saham dan perusahaan terakuisisi akan
menerima hak atas sejumlah uang harga saham tersebut. Menurut pasal 125 ayat (2)
UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menjelaskan bahwa
pengambilalihan dapat dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan. Jika
pengambilalihan dilakukan oleh perseroan, maka keputusan akuisisi harus
mendapat persetujuan dari RUPS. Dan pasal yang sama ayat 7 menyebutkan
pengambilalihan saham perseroan lain langsung dari pemegang saham tidak perlu
didahului dengan membuat rancangan pengambilalihan ,tetapi dilakukan langsung
melalui perundingan dan kesepakatan oleh pihak yang akan mengambil alih dengan
pemegang saham dengan tetap memperhatikan anggaran dasar perseroan yang diambil
alih.
Dalam mengakuisisi perusahaan yang akan mengambilalih harus memperhatikan
kepentingan dari pihak yang terkait yang disebutkan dalam UU. No. 40 tahun
2007, yaitu Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan perseroan, kreditor ,
mitra usaha lainnya dari Perseroan; masyarakat serta persaingan sehat dalam
melakukan usaha.
Dalam
sidang KPPU tanggal 4 november 2009, Majelis Komisi menyatakan Carrefour
terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 17 (1) dan Pasal 25 (1)
huruf a UU No.5/1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat.. Pasal 17 UU No. 5/1999, yang memuat ketentuan mengenai larangan
bagi pelaku usaha untuk melakukan penguasaan pasar, sedangkan Pasal 25 (1) UU
No.5/1999 memuat ketentuan terkait dengan posisi dominan.
majelis
Komisi menyebutkan berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh selama pemeriksaan
perusahaan itu pangsa pasar perusahaan ritel itu meningkat menjadi 57,99%
(2008) pasca mengakuisisi Alfa Retailindo. Pada 2007, pangsa pasar perusahaan
ini sebesar 46,30%. sehingga secara hukum memenuhi kualifikasi menguasai pasar
dan mempunyai posisi dominan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17 Ayat 2
UU No.5 Tahun 1999.
Berdasarkan pemeriksaan, menurut Majelis KPPU, penguasaan pasar dan posisi
dominan ini disalahgunakan kepada para pemasok dengan meningkatkan dan
memaksakan potongan-potongan harga pembelian barang-barang pemasok melalui skema
trading terms. Pasca akuisisi Alfa Retailindo, sambungnya, potongan
trading terms kepada pemasok meningkat dalam kisaran 13%-20%. Pemasok, menurut
majelis Komisi, tidak berdaya menolak kenaikan tersebut karena nilai
penjualan pemasok di Carrefour cukup signifikan.
III.
Saran dan kesimpulan
Kesimpulan
Pelanggaran etika
bisnis dapat melemahkan daya saing hasil industri dipasar internasional. Ini
bisa terjadi sikap para pengusaha kita. Kecenderungan makin banyaknya
pelanggaran etika bisnis membuat keprihatinan banyak pihak. Pengabaian etika
bisnis dirasakan akan membawa kerugian tidak saja buat masyarakat, tetapi juga
bagi tatanan ekonomi nasional. Disadari atau tidak, para pengusaha yang tidak
memperhatikan etika bisnis akan menghancurkan nama mereka sendiri dan negara.
Saran
Dalam menciptakan
etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain:
1.
pelaku bisnis dan
pihak yang terkait mampu mengendalikan diri untuk tidak mendapatkan keuntungan
dengan jalan main curang dan menekan pihak lain
2.
Pelaku bisnis disini
dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat,
3.
Pelaku bisnis
hendaknya menciptakan persaingan bisnis yang sehat
4.
Pelaku bisnis
seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu
memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa mendatang
5.
Pelaku bisnis harus
konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama
No comments:
Post a Comment
Silahkan Kometar / masukannya Sobat...